Beranda | Artikel
Ketika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil
Jumat, 22 Februari 2013

Sebuah kisah dimasa masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang ditulis oleh An Nasa-i (2/233), Al Hakim (2/36), Ahmad (4/226),

عن ابن جريج قال: ولقد أخبرني عكرمة بن خالد أن أسيد بن حضير الأنصاري – ثم أحد بني حارثة – أخبره: ” أنه كان عاملا على اليمامة، وأن مروان كتب إليه أن معاوية كتب إليه أن أيما رجل سرق منه فهو احق بها حيث وجدها، ثم كتب بذلك مروان إلي وكتبت إلى مروان أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى بأنه إذا كان الذي ابتاعها (يعني السرقة) من الذي سرقها غير متهم يخير سيدها، فإن شاء أخذ الذي سرق منه بثمنها وإن شاء اتبع سارقه ثم قضى بذلك أبو بكر وعمر وعثمان. فبعث مروان بكتابي إلى معاوية وكتب معاوية إلى مروان: إنك لست أنت ولا أسيد تقضيان علي، ولكني أقضي فيما وليت عليكما، فانفذ لما أمرتك به، فبعث مروان بكتاب معاوية، فقلت: لا أقضي به ما وليت بما قال معاوية

Dari Ibnu Juraij, ia berkata, Ikrimah bin Khalid mengabarkan kepadaku, bahwa Usaid bin Hudhair Al Anshari (tsumma Al Haritsah) mengabarkan kepadaku :

Ketika Usaid menjadi gubernur di Yamamah, Marwan menulis surat kepada Usaid yang isinya menceritakan bahwa Mu’awiyah menulis surat kepada Marwan, yang isinya: “siapa saja yang telah dicuri barangnya, ketika ditemukan, maka dialah yang paling berhak atas barang tersebut”, lalu Marwan menyampaikan isi surat itu padaku (Usaid).

Lalu aku menulis surat kepada Marwan bahwa Nabi Shallallahu’alahi Wasallam telah memutuskan bahwa barang curian sudah dibeli orang lain dari orang yang mencurinya, sedangkan orang yang membeli ini tidak ada indikasi keburukan (misalnya sebagai penadah, pent.), maka pemilik asli barang tersebut hendaknya memilih dari dua pilihan: ia bisa mengambil barang tersebut dengan memberi ganti harganya, atau ia menelusuri siapa pencurinya. Abu Bakar, Umar dan Utsman juga telah menetapkan demikian.

Lalu Marwan menyampaikan suratku itu kepada Mu’awiyah. Kemudian Mu’awiyah membalas surat Marwan: “Bukan anda atau Usaid yang memutuskan hukum terhadapku, namun akulah yang berhak memutuskan perkara untuk kalian berdua patuhi. Maka jalankanlah apa yang telah aku putuskan”. Lalu Marwan menyampaikan surat Mu’awiyah tersebut kepadaku, dan aku katakan: “Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut”

Derajat Hadits

Imam Al Hakim mengatakan: “hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim”. Namun Adz Dzahabi menemukan illah dalam hadits ini, beliau berkata: “Usaid bin Hudhair ini wafat di masa Umar, ia tidak bertemu Ikrimah dan tidak hidup di zaman Mu’awiyah, sehingga ini perlu ditelaah”.

Namun Al Hafidz Al Mizzi mengatakan: “Ini adalah sebuah wahm. Harun berkata, bahwa Imam Ahmad berkata, yang tertulis di catatan Ibnu Juraij adalah Usaid bin Zhuhair (أسيد بن ظهير)”, namun demikianlah (Usaid bin Hudhair) yang dikatakan oleh para ulama Bashrah. Abdur Razaq dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ikrimah dari Usaid bin Zhuhair, inilah yang benar”.

Diantaranya yang diriwayatkan Abdurrazaq Ash Shan’ani dalam Al Mushannaf (18829) :

لَقَدْ أَخْبَرَنِي عِكْرِمَةُ بْنُ خَالِدٍ , أَنَّ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ , أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ عَامِلًا عَلَى الْيَمَامَةِ …

Ikrimah bin Khalid telah mengabarkan kepada kami, bahwa Usaid bin Zhuhair Al Anshari telah mengabarkannya, bahwa ketika ia menjadi gubernur di Yamamah… ”

Lalu Syaikh Al Albani menyimpulkan, “jika demikian, maka Usaid bin Zhuhair itu adalah seorang sahabat Nabi yang ketika perang Uhud terjadi usianya masih kecil. Selain Ikrimah, anaknya Ikrimah, Rafi’, dan juga Mujahid meriwayatkan darinya. Sehingga hadits ini shahih dan hilanglah wahm yang ada” (diringkas dari Silsilah Ahadits Shahihah, 2/164-165)

Faidah Hadits

  1. Berdasarkan hadits ini, barang curian yang dicuri jika sudah berpindah tangan dari pencurinya kepada orang lain dengan jual beli yang sah, lalu pemilik aslinya menemukan barang tersebut, maka si pemilik asli dapat memilih antara dua opsi:
    1. Membeli kembali barang tersebut dari pemilik sekarang
    2. Melaporkan kepada yang berwajib untuk menelusuri pencurinya
  2. Ketentuan tadi berlaku dengan syarat, si pembeli itu ghayru muttaham. Maksudnya si pembeli tidak terindikasi bahwa dia membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah. Misalnya, si pembeli sudah tahu bahwa barang tersebut curian namun tetap membelinya, atau sebagai penadah barang curian.
    Jika pembeli tersebut membeli dari si pencuri dalam keadaan tidak tahu bahwa ia pencuri dan tidak tahu bahwa barangnya merupakan barang curian, maka pembeli tersebut ghayru muttaham.
    Jika pembeli tersebut muttaham, atau terindikasi membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah, maka si pemilik berhak mengambil barang miliknya tanpa harus membelinya lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’awiyah radhiallahu’anhu. Jelasnya silakan simak penjelas Syaikh Ali Farkus hafizhahullah di sini.
  3. Jika sesuai ketentuan, maka pemilik asli tidak bisa menuntut pemilik barang sekarang untuk menyerahkan barangnya cuma-cuma karena ia telah membelinya dengan transaksi yang sah.
  4. Dalam jual beli, Islam tidak membebani pembeli untuk menanyakan kepada penjual ‘ini barang curian atau bukan? dapatnya dari mana? halal atau tidak cara mendapatkannya?’ atau semacamnya. Karena jika Islam membebani demikian, tentu pemilik barang sekarang dituntut tanggung jawabnya dan dikenai hukuman karena telah berbuat kesalahan tidak menanyakan demikian ketika membeli.
  5. Syaikh Al Albani menjelaskan faidah hadits ini: “Seorang qadhi (hakim) tidak wajib membuat keputusan berdasarkan pendapat khalifah jika telah jelas baginya bahwa pendapat tersebut menyelisihi sunnah. Lihatlah, Usaid bin Zhuhair menolak apa yang yang diperintahkan Mua’wiyah dengan berkata: ‘Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut’.
    Dalam hadits ini juga ada bantahan terhadap pemikiran orang-orang yang ada di partai-partai Islam tentang wajibnya taat terhadap keputusan khalifah yang shalih dalam suatu hukum, walaupun bertentangan dengan nash. Mereka juga mengklaim bahwa sikap demikian itu juga dilakukan oleh generasi awal kaum muslimin. Ini adalah klaim yang batil, tidak ada celah bagi mereka untuk membenarkan sikap tersebut. Bagaimana mungkin demikian, karena dengan sikap ini mereka akan menentang puluhan dalil, hadits ini salah satunya.
    Diantaranya juga, penyelisihan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu terhadap pelarangan haji tamattu’ oleh Utsman bin Affan radhiallahu’anhu semasa kekhalifahannya. Beliau tidak menaati pelarangan itu dan bahkan menampakkan penyelisihannya tersebut. Sebagaimana riwayat dalam Shahih Muslim (4/46),

    اجتمع علي وعثمان رضي الله عنهما بعسفان، فكان عثمان ينهى عن المتعة أو العمرة، فقال علي: ما تريد إلى أمر فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم تنهى عنه؟ ! فقال عثمان: دعنا منك ! فقال: إني لا أستطيع أن أدعك. فلما أن رأى علي ذلك أهل بهما جميعا

    Orang-orang berkumpul pada Utsman di Asfan, ketika itu Utsman melarang haji tamattu’. Maka ‘Ali berkata: ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Utsman menjawab, “biarkan aku menetapkan demikian”. Ali berkata “Aku tidak akan membiarkannya”. Kemudian walaupun Ali berpendapat demikian, ia lalu berihram untuk keduanya sekaligus (haji qiran)‘” (Silsilah Ahadits Shahihah, 2/165-166)

  6. Pejabat, hakim, dan orang-orang yang memutuskan hukum tidak wajib taat pada suatu putusan pemerintah jika aturan dan keputusan tersebut bertentangan dengan dalil. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

    Mendengar dan ta’at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan ta’at” (HR. Bukhari no.2955)

  7. Ketika pemerintah mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan syari’at, maka tetap taat para pemerintah dalam hal yang ma’ruf dan tidak memberontak. Dalam hadits ini Usaid radhiallahu’anhu hanya menyatakan untuk tidak menaati keputusan Mu’awiyah tersebut dan tidak berniat atau mengajak memberontak kepada Mu’awiyah radhiallahu’anhu.
    Bahkan ini jelas sekali dalam kasus Ali dan Utsman radhiallahu’anhum, Ali menolak untuk menaati keputusan Utsman yang bertentangan dengan dalil, bahkan Ali menzhahirkan bolehnya haji tamattu’ kepada masyarakat dengan berkata ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ dalam rangka mendidik umat. Namun ketika itu, Ali tetap taat pada Utsman dengan tetap melakukan haji qiran. Dan tidak ada cerita bahwa setelah itu radhiallahu’anhu  memberontak kepada Utsman gara-gara keputusan ‘Utsman tersebut.
  8. Hadits ini dalil bahwa para sahabat radhiallahu’anhu dalam membantah dan berargumen mereka berlandaskan dalil dan mendahulukan sabda Nabi dibanding perkataan orang manapun.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Ayo Ke Masjid, Kenapa Islam Dibenci, Cara Khusuk Dalam Solat, Puasa Ramadhan Mulai Diwajibkan Pada Tahun Keberapa Hijriyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/12135-ketika-perintah-pemimpin-bertentangan-dengan-dalil.html